STUDI
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN MENGGUNAKAN
KOAGULAN PAC (Poly
Alluminium Chlorida)
DAN FLOKULAN ORGANOCLAY
Usulan Penelitian untuk Skripsi S-1
Oleh
:
Nasik
11630038
Kepada
PROGRAM
STUDI KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa
ini dunia industri berkembang sangat pesat, baik di negara maju maupun negara
berkembang, salah satu contoh negara berkembang adalah Indonesia. Berkembangnya
industri di Indonesia berdampak positif bagi masyarakatnya seperti bertambahnya
lapangan pekerjaan yang cukup luas, menambah penghasilan penduduk sehingga
meningkatkan kemakmuran. Kendati berikut, berkembangnya dunia industri tidak
hanya membawa dampak positif namun juga dapat membawa dampak negatif, seperti
yang kita tahu bahwa sebuah industri membutuhkan tempat produksi, semakin
banyak tempat industri yang dibangun maka akan semakin sempit pula lahan kosong
yang tersedia padahal alam yang kita tinggali ini membutuhkan keseimbangan,
tidak hanya lahan saja yang akan menjadi masalah namun juga dampak setelah
industri tersebut berjalan.
Masalah-masalah
yang timbul setelah suatu industri berjalan diantarnya seperti gas buang sisa
hasil pembakaran yang menyebabkan polusi udara,global warming maupun limbah cair berupa air limbah. Air
limbah industri yang di buang kelingkungan seperti sungai seringkali belum memenuhi standar yang di tetapkan oleh pemerintah daerah
sehingga hal ini akan membuat sungai tersebut tercemar dan membahayakan
organisme yang hidup di sekitarya ataupun manusia yang menkonsumsi air
tersebut. Industri yang sering membuang limbahnya ke lingkungan dan belum
memenuhi baku mutu standar yang telah ditetapkankan oleh pemerintah daerah
salah satunya adalah industri tahu (Jasmiyati, 2010).
Limbah cair tahu
mengandung berbagai macam bahan-bahan organik seperti lemak, karbohidrat, protein.
Menurut Nurhayati Hakim (1986) limbah cair tahu merupakan limbah organik yang
mudah diuraikan oleh mikroorganisme secara alamiah namun jika limbah ini tidak
diolah terlebih dahulu dan dibuang langsung ke sungai atau perairan maka
bahan-bahan organik tersebut dapat menghasilkan senyawa organik turunan yang
nantinya dapat mencemari lingkungan disekitarnya.
Pencemaran
air di lingkungan meningkat seiring berkembangnya dunia industri, hal ini
membuat para pemerhati lingkungan berfikir bagaimana cara mengurangi pencemaran
tersebut. Salah satu cara untuk mengurangi pencemaran air adalah dengan
memanfaatkan bentonit sebagai
adsorben zat organik. Perkembangan
penelitian mengenai aplikasi bentonit sebagai adsorben, baik untuk zat-zat
organik maupun logam berat sangat mengalami kemajuan. Berbagai macam modifikasi
dilakukan untuk mendapatkan karakteristik bentonit yang mempunyai daya serap
tinggi terhadap zat-zat organik maupun logam berat.
Bentonit mengandung mineral
montmorillonit yang mempunyai struktur berlapis, bahan-bahan berlapis umumnya
mampu menginterkalasi senyawa organik, ion serta senyawa anorganik. Selain itu
bahan-bahan berlapis juga digunakan sebagai adsorben, pemucat, katalis serta
bahan fotofungsional (Karna Wijaya, 2002). Bentonit selain dapat digunakan
sebagai adsorben, juga dapat digunakan sebagai flokulan yaitu dengan cara
menginterkalasi senyawa organik seperti surfaktan kedalam lapisannya. Dalam
pengolahan limbah cair tahu digunakan proses koagulasi-flokulasi, pada proses
koagulasi terjadi destabilisasi koloid dan partikel dalam air akibat dari
pengadukan yang cepat dan pemberian bahan. Proses ini berlanjut sampai
terbentuk inti flok, setelah terbentuk inti flok diikuti oleh proses folukasi.
Dimana terjadi penggabungan antara inti flok satu dengan yang lain menjadi
berukuran lebih besar sehingga memungkinkan partikel tersebut dapat mengendap
(Stumm & Morgan, 1996). Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan
penelitian tentang pengaruh pemberian flokulan pada limbah cair tahu dalam menurunkan kadar COB, BOD, dan TSS
dengan menggunanakan flokulan organoclay bentonit-polydadmac serta penambahan
koagulan PAC.
B. Batasan Masalah
1.
Koagulan yang akan digunakan yaitu PAC
sedangkan untuk flokulan adalah organoclay
bentonit-polydadmac ?
2.
Jenis bentonit yang digunakan adalah
Na-monmorillonit
3.
Parameter yang diuji adalah COD, BOD,
dan TSS
C. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengaruh penambahan flokulan
organoclay bentonit-polydadmac pada pengolahan limbah cair tahu ?
2. Bagaimana
kadar COD, BOD, dan TSS sebelum dan sesudah dilakukan penambahan flokulan
organoclay bentonit-polydadmac ?
3. Bagaimana
pengaruh massa dan waktu kontak terhadap efesiensi penurunan kadar COD, BOD,
dan TSS limbah cair tahu oleh flokulan
organoclay bentonit-polydadmac?
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
pengaruh penambahan flokulan organoclay bentonit-polydadmac pada pengolahan
limbah cair tahu
2. Mengetahui
kadar COD, BOD, dan TSS sebelum dan sesudah dilakukan penambahan flokulan
organoclay bentonit-polydadmac
3. Mengetahui
pengaruh massa dan waktu kontak organoclay terhadap penurunan kadar COD, BOD,
dan TSS pada limbah cair tahu
E. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik bentonit yang
diinterkalasi dengan polydadmac sebagai flokulan pada proses pegolahan limbah
cair tahu dengan penambahan koagulan PAC serta dapat dimanfaatkan sebagai
alternativ dalam mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah cair
tahu.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Danil
S Bath (2012) meneliti tentang penggunaan tanah bentonit sebagai adsorben logam
Cu dengan menggunakan metode bentonit teraktifasi HCl. Dalam penelitian
tersebut, peneliti memvariasikan pengaruh konsentrasi HCl terhadap adsorpsi
logam Cu, fariasi konsentrasi HCl di antaranya adalah 0,4 ; 0,8 ; 1,2 ; 1,6 ;
dan 2 M. Dari hasil yang di dapat menunjukkkan bahwa adsorpsi meningkat dari
konsentrasi 0,4 M – 1,6 M. Semakin
bertambah konsentrasi HCl maka proses adsorpsi semakin bagus, namun hal ini
hanya sampai terjadi pada konsentrasi 1,6 M. Dimana adsorbat yang teradsorp
menurun setelah jatuh pada konsentrasi 1,6 M. Menurut Komadel (2002), semakin
meningkatnya konsentrasi asam akan menghasilkan situs aktif yang lebih besar
dan keasaman permukaan yang lebih besar sehingga dapat menghasilkan bentonit
aktif yang mempunyai daya adsoprsi tinggi. Namun selanjutnya akan mengalami
penurunan daya adsorps pada konsentrasi yang tinggi. Selain memfariasikan
pengaruh konsentrasi HCl terhadap adsorpsi logam Cu, Danil S Bath (2012) juga
melakukan beberapa fariasi diantaranya pengaruh waktu pengaktifan terhadap
adsorpsi logam Cu, pengaruh berat adsorben terhadap adsorpsi logam Cu, pengaruh
waktu pengontakan terhadap adsorpsi logam Cu dan pengaruh konsentrasi adsorbat
terhadap berat adsorbat yang teradsorpsi.
Dian
Risdianto (2007) dalam penelitianya tentang optimasi proses koagulasi flokulasi
untuk pengolahan air limbah industri jamu menyebutkan pengolahan limbah
menggunakan cara koagulasi dan flokulasi saja belum dapat memperoleh hasil yang
optimal sehingga harus dilakukan kombinasi-kombinasi seperti pemilihan
koagulan-flokulan, penentuan pH, serta takaran dosis yang tepat. Proses
optimasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan kombinasi koagulan-flokulan yang
terbaik dalam mereduksi komponen-komponen koloid dan partikel tersuspensi pada
efluen limbah cair sehingga proses dapat berlangsung secara efektif dan efesien
serta dapat menurunkan biaya operasional pengolahan limbah. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, hasil yang didapat lebih optimal sehingga biaya
operasional untuk pengolahan limbah lebih minimalis. Hal ini dapat terjadi
karena pemilihan bahan serta pemberian dosis terhadap limbah dilakukan secara tetap sehingga tidak
membuang bahan secara percuma.
Evi
Oktaviani (2011) dalam penelitiannya membandingkan antara bentonit
(Na-MMT) dengan bentonit terinterkalasi surfaktan kationik
ODTMA Br sebagai adsorben fenol.
Berdasarkan data yang diperoleh dari instrument XRD, dengan penambahan
surfaktan kationik ODTMA Br kedalam bentonit dapat meningkatkan basal spacing dari bentonit tersebut. Setelah
dilakukan pengujian daya adsorps terhadap fenol, menunjukkan bahwa daya adsorps
organoclay lebih efektif dalam
menyerap fenol dibandingkan dengan bentonit yang tidak dilakukan interkalasi.
Dalam penelitian ini akan dilakukan proses adsorpsi zat-zat
organik dari limbah cair tahu menggunakan
organoclay, organoclay yang digunakan
adalah hasil interkalasi flokulan kationik polydadmac kedalam bentonit. Sebelum
organoclay dimasukkan kedalam limbah cair, limbah ditambahkan dengan koagulan
PAC. Pada proses koagulasi, terjadi destabilisai koloid dan partikel dalam air.
Dengan perlakuan ini diharapkan hasil yang didapatkan lebih maksimal
dibandingkan hasil yang didapat dari metode-metode sebelumnya.
B. Landasan Teori
1. Limbah Cair Tahu
Tahu adalah
salah satu makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena selain
harganya yang murah dan mudah didapat, tahu juga banyak mengandung protein yang
bagus untuk tubuh. Banyaknya minat masyarakat akan konsumsi tahu, membuat
industri tahu berkembang pesat. Selain menghasilkan tahu, industri tahu juga
menghasilkan limbah dari proses produksinya, salah satunya adalah limbah cair.
Limbah cair tahu merupakan limbah pangan yang mengandung
senyawa organik dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah cair tahu
mempunyai karakteristik fisika dan kimia, karakteristik fisika meliputi
kandungan total padatan yang terdiri dari bahan terapung, tersuspensi, koloid,
dan terlarut. Sedangkan karakteristik kimia meliputi senyawa anorganik, seperti
nitrit (NO2), nitrat (NO3), sulfida (SO4), gas
nitrogen (N2), oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S),
dan metana (CH4) (Pranoto, 1999). Menurut Herlambang (2002) dampak
yang ditimbulkan oleh pencemaran senyawa organik dari limbah cair tahu adalah
gangguan terhadap kehidupan biotik. Menurunnya kualitas air pada suatu perairan
diakibatkan oleh meningkatnya kandungan senyawa organik. Aktifitas organisme
pada perairan dapat memecah senyawa organik kompleks menjadi senyawa organik
yang sederhana. Bahan anorganik yang
terkandung dalam air seperti ion fosfat dan nitrat dapat dipakai oleh tumbuhan
sebagai sumber makanan dalam melakukan
fotosintesis. Selama proses metabolisme, oksigen banyak dikonsumsi oleh
bakteri, sehingga ketika zat organik yang terkandung dalam air hanya sedikit,
maka oksigen yang hilang akan segera digantikan oleh oksigen hasil fotosintesis
dan reaerasi dari udara. Sebaliknya jika kandungan senyawa organik berlebih
maka akan tercipta kondisi anaerobik yang menghasilkan produk dekomposisi
berupa amonia, karbondioksida, asam asetat, hidrogen sulfida, dan metana. Senyawa-senyawa
tersebut sangan toksik bagi sebagian hewan air, dan akan menimbulkan gangguan
berupa bau yang tidak sedap.
Limbah cair tahu mengandung berbagai
macam bahan-bahan organik seperti lemak, karbohidrat, protein. Protein adalah
salah satu senyawa yang terkandung dalam limbah cair tahu. Protein merupakan
sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, N yang tidak dimiliki oleh
lemak tau karbohidrat. Dalam tubuh manusian protein dipecah menjadi komponen
yang lebih kecil yaitu asam amino. Asam amino terdiri dari sebuah gugus amino,
gugus karboksil , sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada atom C
yang biasa disebut dengan C
. Struktur asam amino ditunjukkan oleh
Gambar 1.
Gambar
1: Asam amino
Adanya gugus amino dan karboksil bebas
pada ujung-ujung rantai molekul protein,
menyebabkan protein mempunyai banyak muatan dan bersifat amfoter karena bisa
bersifat asam maupun basa. Dalam larutan asam, gugus amino bereaksi dengan H+
sehingga bermuatan positif. Sedangkan dalam larutan basa, molekul protein akan
bereaksi dengan asam dan bermuatan negatif. Pada titik isoelektrik, muatan
gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul
bermuatan nol. Setiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang
berbeda-beda (Winarno, 2002).
2. Bentonit
Bentonit adalah
senyawa anorganik yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit dengan
mineral-mineral seperti kuarsa, kalsit, dolomit, feldspars, dan mineral lainnya
(Uddin, 2008). Menurut Karna Wijaya (2002) lempung montmorillonit mempunyai
lapisan-lapisan silikat yang bermuatan negatif
dengan kation yang berada di dalam interlayernya serta mempunyai kemampuan
mengembang, sifat penukaran ion, luas permukaan yang besar. Bentonit mempunyai
sifat plastis yang tinggi dan apabila bentonit jenuh maka air akan mengembang
maksimum, bentonit sendiri mempunya rumus umum kimia Al2O3.4SiO2.H2O
(Eko Budiyono, 1996).
Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua macam,
yaitu:
a. Na-Bentonit
Na-Bentonit adalah jenis
montmorillonit yang kaya akan kalium/natrium. Terdiri dari
montmorillonit 79%, ilit 9,5%, kuarsa 5%, plaksiglas 3%, gypsum 2% dan karbonat
1,5%, sedangkan kapasitas total 93,7% meq/100 g, mempunyai sifat dapat
mengembang dengan air hingga 200% (Eko Budiyono, 1996). Dalam keadaan kering,
jenis bentonit ini berwarna putih atau kream, sedangkan dalam keadaan basah dan
terkena sinar matahari berwarna mengkilap. Bentonit jenis ini tidak dapat
diaktifkan, perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi koloidal mempunyai pH 8,6-9,8,
dan posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion sodium (Na+).
Na-bentonit biasanya digunakan sebagai pengisi, lumpur bor, penyumbat kebocoran
bendungan, bahan pencampur pembuatan cat, bahan baku farmasi, dan perekat pasir
cetak pada industri pengecoran logam (Riyanto, 1992).
b. Ca-Bentonit
Bentonit jenis ini kaya akan kalsium/magnesium dan pada
umumnya relatif stabil. Terdiri dari montmorillonit 80%, ilit 10%, kuarsa 5%,
plaksiglas 3%, gypsum 1%, dan karbonat 0,5%, sedangkan kapasitas total 56,1
meq/100g (Eko Budiyono, 1996). Jenis bentonit ini sulit mengembang ketika dicelupkan
kedalam air, dan tetap terdispersi dalam air, namun secara alami jenis bentonit
ini mempunyai daya serap yang baik setelah diaktifasi. Suspense koloidal
mempunyai pH 4-7. Dalam keadan kering, bentonit jenis ini berwarna abu-abu,
kuning, merah dan coklat, kemudian posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion
kalsium/magnesium. Ca-bentonit banyak dipakai sebagai bahan penyerap selain itu
juga dimanfaatkan sebagai bahan lumpur bor setelah pertukaran ion, sehingga
terjadi perubahan menjadi Na-bentonit (Riyanto, 1992).
Struktur
bentonit terdiri dari 3 layer dengan konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua
layer silika tetrahedral dan satu layer sentral oktahedaral. Diantara lapisan
oktahedral dan tetrahedral terdapat kation monovalent maupun bivalent, seperti
Na+, Ca+ dan Mg+. Pada koordinasi
tetrahedaral, unsur Si4+ dapat digantikan oleh Al3+
sedangkan pada oktahedral unsur Al3+ dapat digantikan oleh Mg2+, dan Fe2+ digantikan oleh Fe3+.
Hal ini dapat terjadi karena adanya substitusi isomorfh pada mineral bentonit
yaitu penggantian suatu unsur dengan unsur lain dalam mineral kristal tanpa
memodifikasi struktur kimianya dan menghasilkan muatan negatif pada permukaan
bentonit. Umumnya ion Al3+ dapat digantikan oleh Mg2+, Zn2+,
Fe2+, Ni2+, Li+ serta kation lainnya (Uddin,
2008).
Gambar 2 : Struktur Montmorillonit
Keberadaan
atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur montmorillonit,
memungkinkan air atau molekul lain masuk didalam antar lapisan. Akibantya kisi
akan menjadi menjadi besar pada arah vertical. Selain itu juga karena adanya
pergantian antara atom Si dengan Al yang menyebabkan terjadinya muatan negatif
disekitar permukaan bentonit. Bagian inilah yang disebut dengan sisi aktif
bentonit dimana sisi ini dapat menyerap kation dari senyawa-senyawa organik
atau ion-ion senyawa logam (Othmer, 1946).
Menurut
Perrich (1981) beberapa faktor yang mempengaruhi laju adsorpsi adalah :
a)
Luas permukaan adsorben
Semakin
luas permukaan adsorben, maka semakin banyak adsorbat yang dapat diserap,
sehingga proses adsorpsi dapat berjalan semakin efektif. Semakin kecil ukuran
suatu partikel maka semakin besar luas permukaannya
b)
Ukuran partikel
Semakin
kecil ukuran partikel yang digunakan maka semakin cepat daya adsoprsinya.
Ukuran diameter dalam bentuk butir adalah lebih dari 0,1 mm sedangkan ukuran
diameter dalam bentuk serbuk adalah lolos 200 mesh (Tchobanoglous, 1991)
c) Waktu kontak
Waktu
kontak lebih lama memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat
berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat organik akan trurun apabila waktu
kontaknya cukup dan waktu berkisar 10-15 menit. Waktu kontak merupakan hal yang
sangat menentukan dalam proses adsorpsi (Reynold, 1982)
3.
Organoclay
Organoclay
merupakan suatu hasil modifikasi bentonit yang dilakukan dengan cara penambahan
surfaktan agar bentonit yang semula bersifat hidrofilik menjadi organofilik.
Perubahan sifat ini dihasilkan dari pergantian kation anorganik dari bentonit
oleh kation organik surfaktan. Dengan masuknya surfaktan kedalam bentonit,
d-spacing pada bentonit pun semakin besar. Perubahan sifat ini akan membuat bentonit bersifat hidrofobik dan mempunyai daya adsorp yang tinggi terhadap senyawa
organik (Syuhada, 2009).
Proses masuknya surfaktan kedalam lapisan bentonit disebut
dengan proses interkalasi. Interkalasi merupakan penyisipan suatu spesies tamu (ion, atom,
atau molekul) kedalam antar lapis senyawa berstruktur lapis. Menurut Schubert
(2002) interkalasi adalah penyisipan suatu spesies pada ruang antar lapis dari
padatan dengan tetap mempertahankan struktur lapisnya. Atom-atom atau molekul
yang akan disisipkan disebut interkalan, sedangkan tempat yang akan disisipi
dengan atom molekul disebut interkalat.
Metode ini akan memperbesar pori dari material, karena interkalan akan
mendorong lapisan atau antar lapisan untuk mengembang.
Polydiallydimethylammonium chloride (C8H16NCl)n
atau yang biasa disebut dengan Polydadmac adalah salah satu surfaktan kationik
yang sering digunakan dalam proses interkalasi. Densitas muatan membuat
polydadmac cocok digunakan untuk flokulasi. Surfaktan kationik merupakan
surfaktan dengan bagian permukaan aktifnya yang bermuatan positif. Surfaktan
kationik biasanya mempunyai gugus fungsi amina, ammonium, heterosiklik.
Gambar
3: Polydadmac
4.
Koagulasi-Flokulasi
Proses
pengolahan air limbah biasanya melibatkan proses koagulasi-flokulasi. Dimana
dengan proses koagulasi-flokulasi ini memudahkan partikel-partikel tersuspensi
yang sangat lembut dan bahan-bahan koloidal dalam air menjadi agregat (proses
sebelum penggumpalan) dan pembentukan flok, sehingga dapat dipisahkan dengan
proses pengendapan. Koagulasi adalah
proses destabilisasi dispersi koloid yang terjadi akibat penambahan ion
elektrolit sederhana yang mengakibatkan reduksi gaya tolak lapisan ganda
listrik pada permukaan padatan-cairan. Sedangkan flokulasi adalah suatu proses
destabilisasi koloid akibat kerja polielektrolit dengan berat molekul tinggi yang
larut dalam fase kontinu (Akers, 1975).
Menurut
Packham (1977) ada dua hal yang mempengaruhi koagulasi dan flokulasi. Hal
tersebut aalah : (i) Gaya tarik atau gaya tolak antar partikel dan (ii) frekuensi
tumbukan antar partikel. Beberapa macam koagulan yang sering digunakan dalam
pengolahan air dan air limbah diantaranya adalah aluminium sulfat (Al2(SO4)3),
ferro sulfat (Fe2(SO4)3), ferri klorida (FeCl3),
PAC (poly aluminium chloride). Pada
umumnya koagulan yang paling sering digunakan masyarakat adalah aluminium
sulfat atau yang lebih dikenal dengan
tawas (Anton Budiman, 2008).
PAC
adalah garam khusus dalam pembuatan aluminium klorida yang dapat memberikan
daya koagulasi dan flokulasi lebih kuat dibandingkan dengan aluminium dan
garam-garam besi seperti aluminium sulfat atau ferri klorida. PAC biasa
digunakan sebagai koagulan atau flokulan untuk menguraikan larutan yang keruh
dan menggumpalkan partikel, sehingga partikel dapat dipisahkan dari medium
pelarutnya. PAC mempunya rumus umum kimia: Al2(OH)6-nCln.xH2O
(n= 1-5). Keuntungan dari PAC diantaranya:
1.
Korosifitasnya yang rendah karena PAC koagulan bebas sulfat sehingga mudah
dalam penyimpanan dan transportasinya. Pada umumnya penggunaan koagulan akan
menghasilkan logam hidroksida.
2.
Penggunaan aluminium sulfat akan menyebabkan pelepasan ion hidrogen untuk setiap gugus hidrogen yang dihasilkan.
Ion hidrogen yang dihasilkan ini akan menyebabkan penurunan pH yang cukup
tajam, sehingga air yang diolah akan menjadi lebih asam. Pada penggunaan
koagulan PAC penurunan pH tidak terlalu tajam dibandingkan dengan koagulan
aluminium sulfat. Hal ini dapat dilihat dari reaksi yang terjadi sebagai
berikut:
Aluminium
Sulfat:
2Al3+ + 6H20 2Al(OH)3 + 6H+
PAC:
[Al2(OH)5]+ + H2O 2Al(OH)3 + H+
Dari
reaksi diatas dapat dilihat bahwa pada reaksi hidrolisis, aluminium sulfat
dalam air melepaskan ion H+ sebanyak 6H+ sedangkan PAC
hanya melepaskan ion H+ satu buah. Hal ini akan menyebabkan pH air
yang menggunakan aluminium sulfat lebih asam dibandingkan dengan yang
menggunakan PAC (Anton Budiman, 2008).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini
akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan April 2014 di Laboratorium
Terpadu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
B. Alat-alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain: XRD,
FT-IR, oven, penyaring buchner, seperangkat alat refluks, seperangkat alat uji
BOD dan TSS, neraca analitik, inkubator 20 oC, shaker, centrifuge,
ayakan ukuran 200 mesh, heating mantel, lumpang dan mortal,
peralatan gelas.
C. Bahan-bahan Penelitian
Bahan utama yang
digunakan adalah bentonit dari daerah semarang. Bahan yang digunakan sebagai
interkalat yaitu polydadmac dan koagulan yang digunakan adalah PAC. Bahan
sampel yang akan di analisa yaitu limbah cair tahu dari daerah Yogyakarta.
Bahan-bahan untuk uji COD diantaranya HgSO4, H2SO4
pekat, kalium dikromat, larutan FAS (ferro
ammonium sulfat), indikator ferroin. Bahan-bahan untuk uji BOD diantarnya Buffer
phosphate (KH2PO4; NH4Cl; NaOH), CaCl2,
MgSO4, dan FeCl3. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah
NaOH, HCl, dan sebagai pelarut yaitu akuades.
D. Cara Kerja penelitian
1.
Karakterisasi bentonit dan organoclay
bentonit-polydadmac
Sebanyak 0,5 gram bentonit dan organoclay yang tersedia,
dianalisis menggunakan FTIR dan XRD
2. Analisis
COD, BOD dan TSS
I. Analisis
COD SNI 6989.2:2009.
a) Contoh
uji, digestion solution dan ditambah larutan pereaksi asam sulfat kemudian
dimasukkan ke dalam tabung atau ampul, seperti yang dinyatakan dalam Tabel 1
berikut:
b) Tabung ditutup dan dikocok perlahan sampai
homogen;
c) Tabung
diletakkan pada pemanas yang telah dipanaskan pada suhu 150 °C, lakukan digestion
selama 2 jam
CATATAN Selalu gunakan alat pelindung diri yang sesuai dan
lakukan di ruang asam
d) Contoh
uji yang sudah direfluks didinginkan perlahan-lahan sampai suhu ruang. Saat
pendinginan sesekali tutup contoh uji dibuka untuk mencegah adanya tekanan gas
e) Contoh
uji dipindahkan secara kuantitatif dari tube atau ampul ke dalam Erlenmeyer
untuk titrasi
f) Ditambahkan
indikator ferroin 0,05 mL - 0,1 mL atau 1 - 2 tetes dan diaduk dengan pengaduk
magnetik sambil dititrasi dengan larutan baku FAS 0,05 M sampai terjadi
perubahan warna yang jelas dari hijau-biru menjadi coklat-kemerahan, catat
volume larutan FAS yang digunakan
g) Dilakukan
juga langkah 6 a) sampai dengan 6 f) terhadap air bebas organik sebagai blanko.
Catat volume larutan FAS yang digunakan
COD
(mg O2/L)=
Keterangan:
A adalah volume larutan
FAS yang dibutuhkan untuk blanko, dinyatakan dalam mililiter (mL)
B adalah volume larutan
FAS yang dibutuhkan untuk contoh uji, dinyatakan dalam mililiter (mL)
M adalah molaritas
larutan FAS
8000 adalah berat miliequivalent
oksigen x 1000 mL/L
II. Analisis
BOD SNI 6989.72:2009
a) Disiapkan
2 buah botol DO, tandai masing-masing botol dengan notasi A1; A2
b) Larutan
contoh uji dimasukkan ke dalam masing-masing botol DO A1 dan A2; sampai meluap,
kemudian ditutup masing masing botol secara hati-hati untuk menghindari terbentuknya
gelembung udara
c) Dilakukan
pengocokan beberapa kali, kemudian ditambahkan air bebas mineral pada sekitar mulut
botol DO yang telah ditutup
d) Botol
A2 disimpan dalam lemari inkubator 20°C ± 1°C selama 5 hari
e) Dilakukan
pengukuran oksigen terlarut terhadap larutan dalam botol A1 dengan alat DO meter
yang terkalibrasi sesuai dengan Standard Methods for the Examination of
Water and Wastewater 21st Edition, 2005: Membrane electrode method (4500-O G) atau
dengan metode titrasi secara iodometri (modifikasi Azida) sesuai dengan SNI
06-6989.14-2004. Hasil pengukuran, merupakan nilai oksigen terlarut nol hari
(A1). Pengukuran oksigen terlarut pada nol hari harus dilakukan paling lama 30
menit setelah pengenceran
f) Diulangi
pengerjaan untuk butir e) untuk botol A2 yang telah diinkubasi 5 hari ± 6 jam.
Hasil pengukuran yang diperoleh merupakan nilai oksigen terlarut 5 hari (A2)
g) Dilakukan
pengerjaan untuk butir a) sampai f) untuk penetapan blanko dengan menggunakan
larutan pengencer tanpa contoh uji . Hasil pengukuran yang diperoleh merupakan
nilai oksigen terlarut nol hari (B1) dan nilai oksigen terlarut 5 hari (B2)
h) Dilakukan
pengerjaan butir a) sampai f) untuk penetapan kontrol standar dengan menggunakan
larutan glukosa-asam glutamat. Hasil pengukuran yang diperoleh merupakan nilai
oksigen terlarut nol hari (C1) dan nilai oksigen terlarut 5 hari (C2)
i) Dilakukan
kembali pengerjaan untuk butir a) sampai butir f) terhadap beberapa macam pengenceran
contoh uji
Keterangan:
BOD5 adalah nilai BOD5
contoh uji (mg/L);
A1 adalah
kadar oksigen terlarut contoh uji sebelum inkubasi (0 hari) (mg/L)
A2 adalah kadar oksigen
terlarut contoh uji setelah inkubasi 5 hari (mg/L)
B1
adalah kadar oksigen terlarut blanko sebelum inkubasi (0 hari) (mg/L)
B2
adalah kadar oksigen terlarut blanko setelah inkubasi 5 hari (mg/L)
VB
adalah volume suspensi mikroba (mL) dalam botol DO blanko
VC adalah
volume suspensi mikroba dalam botol contoh uji (mL)
P
adalah perbandingan volume contoh uji (V1) per volume total (V2)
III. Analisa TSS SNI 06-6989.
3-2004
a) Contoh
uji disaring dengan peralatan vakum. Saringan dibasahi dengan sedikit air
suling
b) Contoh
uji diaduk dengan pengaduk magnetik untuk memperoleh contoh uji yang lebih
homogen
c) Contoh
uji dipipet dengan volume tertentu, pada waktu contoh diaduk dengan pengaduk Magnetik
d) Kertas
saring atau saringan dicuci dengan 3 x 10 mL air suling, dibiarkan kering
sempurna, dan penyaringan dilanjutkan dengan vakum selama 3 menit agar
diperoleh penyaringan sempurna. Contoh uji dengan padatan terlarut yang tinggi
diperlukan pencucian tambahan.
e) Kertas
saring dipindahkan secara hati-hati dari peralatan penyaring dan dipindahkan ke
wadah timbang aluminium sebagai penyangga. Jika digunakan cawan Gooch dipindahkan
cawan dari rangkaian alatnya.
f) Dikeringkan
dalam oven setidaknya selama 1 jam pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC, didinginkan
dalam desikator untuk menyeimbangkan suhu dan ditimbang.
g) Diulangi
tahapan pengeringan, pendinginan dalam desikator, dan dilakukan penimbangan sampai
diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% terhadap
penimbangan sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5 mg
mg TSS
per liter =
Keterangan:
A adalah berat kertas saring + residu
kering, mg
B
adalah berat kertas saring, mg
3. Sintesis
Organoclay
Sebanyak 10 gram bentonit dimasukkan dalam gelas beker yang
berisi akuades 200 mL akuades kemudian ditambah dengan 20 mL polydadmac.
Larutan tersebut diaduk selama 10 jam kemudian di pisahkan dengan jalan
penyaringan. Padatan dicuci menggunakan akuades beberapa kali kemudian dikeringkan pada suhu 80 oC selama
48 jam. Setelah kering, padatan dihaluskan kembali hingga lolos saringan 200 mesh.
4. Aplikasi
organoclay terhadap limbah cair tahu
dengan penambahan koagulan
Sebanyak 1 gram koagulan PAC dimasukkan kedalam gelas beker 100 mL yang
telah berisi limbah cair tahu sebanyak 20 mL. Kemudian diaduk selama 20 menit
dengan kecepatan 120 rpm, setelah
terbentuk flok kemudian ditambahkan dengan 1 gram organoclay hasil sintesis dan
diaduk kembali selama 30 menit. Filtrat dipisahkan dari residu menggunakan
penyaring. 10 mL filtrat diambil kemudian dilanjutkan dengan uji kadar COD, BOD, dan TSS.
5. Pengaruh
variasi massa organoclay terhadap
penurunan kadar COD, BOD, dan TSS pada limbah cair tahu
Sebanyak 1 gram koagulan PAC dimasukkan kedalam gelas beker 100 mL yang
telah berisi limbah cair tahu sebanyak 20 mL. Kemudian diaduk selama 20 menit
dengan kecepatan 120 rpm, setelah
terbentuk flok kemudian ditambahkan dengan 1 gram organoclay hasil sintesis dan
diaduk kembali selama 30 menit. Filtrat dipisahkan dari residu menggunakan
penyaring. 10 mL filtrat diambil kemudian dilanjutkan dengan uji kadar COD, BOD, dan TSS. Langkah diatas juga
dilakukan untuk massa organoclay 10, 20, 30, 40, dan 50 gram.
6. Pengaruh
variasi waktu kontak organoclay dengan
sampel terhadap penurunan kadar COD, BOD, dan TSS pada limbah cair tahu
Sebanyak 1 gram koagulan PAC dimasukkan kedalam gelas beker 100 mL yang
telah berisi limbah cair tahu sebanyak 20 mL. Kemudian diaduk selama 20
menit,setelah terbentuk flok kemudian ditambahkan dengan 1 gram organoclay
hasil sintesis dan diaduk kembali selama 30 menit. Langkah diatas juga
dilakukan pada waktu kontak 10, 15, 25, 40, dan 60 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Aksan
Y Maradang,dkk, Kajian Penggunaan Berbagai Lempung Teraktivasi Sebagai Adsorben
Untuk Menurunkan Kadar Amonia, Nitrat, dan Nitrit dari Limbah Tahu Industri.
Online Jurnal of Natural Science, vol 3(1): 1-7 March 2014
Anton
Budiman, Dalam Kinerja Koagulasi Poly
Aluminium Chloride (PAC) dalam Penjernihan Air Sungai Kalimas Surabaya Menjadi
Air Bersih. Widaya Teknik, vol.7, No.1, 2008 (25-34)
Daniel
S Bath,dkk. 2012. Penggunaan Tanah Bentonit Sebagai Adsorben Logam Cu. Jurnal
Teknik Kimia USU, vol.1, No.1
Don
Turcotte and Jerry Schubert's. 2002. Geodynamics, 2 edition. Cambridge
University Press.
England
Eko
Budiyono. 1996. Pengaruh Persen Berat Bahan Lokal Bentonit, Pasir Kuarsa dan
Magnetit Terhadap Kemampuan Serap SR-90 dalam Limbah Radioaktif. PPNY-BATAN.
Yogyakarta
Jasmiyati,
Shofia A., Thamrin. 2010. Bioremediasi Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan
Efektif Mikroorganisme (EM4). Journal of Environtmental Science. 2 (4)
Karna
Wijaya. 2002. Multifunction of Layerd and Porous Materials. Indonesian Journal
of Chemistry, 2002, 2 (3), 142-154
Khaerudin.
2007. Produksi Isopropil Alkohol Murni Untuk Aditif Bensin yang Ramah
Lingkungan Sebagai Wujud Pemanfaatan Produksi Samping Pada Industri Gas Alam.
PT.Rekayasa Industri. Bandung
Komadel,
Chemically, Modified Smectites, Slovac academy of Science, Slovakia, 2003
Nurhayati
Hakim. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung
Owabor,
C.N., Ono, U.M., and Isuekevbo, A. 2012. Enhanced Sorption of Hapthalene onto a
Modified Clay Adsorbent: Effect of Clay on Sorption Kinetics, Advances In Chemical Enginering and Science,
2: 330-335
Perrich,
J.R. 1981. Activated Carbon Adsorption
For Wastewater Treatment. CRC. Press Inc Boca Raton, florida
Pranoto.
1999. Pengelolaan Lingkungan di Perusahaan Tahu (Unit Pengolahan Limbah). UNS,
Surakarta
Reynold,
T.D. 1982. Unit Operation and Process In
Evironmental Enginering Texas A&M University, USA
Riyanto,
A. 1992. Bahan Galian Industri Bentonit, PPTM, Bandung
Syuhada,
Rachmat Wijaya, dkk. 2009. Modifikasi Bentonit (Clay) Menjadi Organoclay dengan
Penambahan Surfaktan. Jurnal Nano Sains dan Teknologi
Tchobanoglous
and Berton. 1991. Waste Water Enginering Treatment, Disposal and Peuse. Third
Edition. Mc Graww Hill inc, New York
Uddin,
Faheem. 2008. Clays, Nanoclays, and Montmorillonite Minerals. The Minerals,
Metals & Materials Society and ASM International. 10. 1007/
s11661-008-9603-5
Winarno,
F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta